Sejumlah asosiasi tekstil Indonesia menolak keras wacana pelonggaran impor dan penghapusan hambatan non-tarif yang diwacanakan pemerintah sebagai respons atas tarif resiprokal Amerika Serikat (AS). Mereka meminta pemerintah fokus pada perlindungan industri dalam negeri yang kian tertekan akibat banjir produk impor.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi), Redma Gita Wiraswasta, menyebut tarif resiprokal Presiden AS Donald Trump bertujuan memotong defisit perdagangan dengan negara mitra, termasuk Indonesia.
“Defisit perdagangan antara AS dan Indonesia mencapai US$17 miliar. Maka Indonesia menjadi target tarif resiprokal 32% oleh AS,” ujarnya dalam konferensi pers virtual, Jumat (4/4/2025).
Redma menegaskan pemerintah seharusnya segera membuat kebijakan protektif, termasuk mempertahankan Persetujuan Teknis dalam pengaturan impor dan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), ketimbang melonggarkan hambatan perdagangan.
“Pemerintah harus menjawab perang tarif dengan kebijakan tarif juga, bukan dengan relaksasi impor atau menghapus hambatan non-tarif. Itu akan jadi kesalahan besar,” tegasnya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Bidang Perindustrian, Ian Syarif, menjelaskan bahwa hambatan non-tarif yang diterapkan Indonesia sebenarnya masih lebih ringan dibandingkan banyak negara lain.
“Kalau di Indonesia ada BPOM, di AS ada Food and Drug Administration. Kita punya SNI, mereka punya ASTM. Artinya, standar kita sejalan dengan negara lain. Jadi tidak bisa serta-merta disebut hambatan perdagangan,” jelas Ian.
Menurutnya, AS hanya menginginkan tiga hal: transparansi, kejelasan, dan keadilan perlakuan terhadap pelaku usaha lokal dan asing. Ia menilai tekanan dari AS lebih bersifat politis ketimbang teknis.
Redma menambahkan, respons pemerintah terhadap kebijakan Trump akan menentukan nasib industri tekstil nasional. Jika keliru, Indonesia bisa kebanjiran impor tanpa kompensasi ekspor yang berarti.
“Kalau kita relaksasi impor, ekspor kita tetap tidak naik. Malah produk luar negeri masuk lebih banyak, industri dalam negeri terpukul, dan PHK makin marak,” katanya. “Akan terjadi percepatan PHK.”
Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan jajaran Kabinet Merah Putih untuk menyederhanakan dan menghapus regulasi yang dianggap menghambat investasi, termasuk hambatan non-tarif.
“Kabinet Merah Putih akan melakukan langkah strategis dan deregulasi sesuai arahan Presiden,” dikutip dari situs Kementerian Luar Negeri.
Pemerintah RI dan Bank Indonesia juga berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar rupiah serta memastikan kecukupan likuiditas valas untuk mendukung dunia usaha dan kestabilan ekonomi nasional.
Sementara itu, Gedung Putih menegaskan bahwa kebijakan tarif resiprokal AS dimaksudkan sebagai respons atas kebijakan tarif dan non-tarif negara lain yang menghambat akses pasar bagi produsen AS.
Dalam dokumen resmi, AS menyoroti Indonesia yang dinilai memberlakukan tarif tinggi atas beberapa produk, seperti etanol yang dikenai tarif 30%, dibandingkan AS yang hanya memungut 2,5%.
Selain itu, kebijakan TKDN dan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) Indonesia dianggap sebagai hambatan non-tarif karena membatasi akses produsen asing ke pasar lokal.
“Indonesia mempertahankan persyaratan konten lokal, rezim perizinan impor yang kompleks, dan mulai tahun ini mewajibkan pemindahan seluruh DHE SDA di atas US$250.000 ke dalam negeri,” tulis pernyataan resmi White House.