Bank Indonesia (BI) mengungkapkan alasan bank sentral belum menurunkan tingkat suku bunga acuan atau BI Rate pada pengujung tahun ini, meski level inflasi sudah berada di batas bawah target pemerintah.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan pihaknya belum memangkas BI Rate karena terlebih dahulu berfokus untuk menstabilkan nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang makin meningkat.
“Bukan berarti ruang penurunan suku bunga tidak ada, masih tetap akan terbuka. Menakarnya, timing is not right yet (waktunya belum tepat),” ujar Perry dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI), Rabu (18/12/2024).
Perry mengatakan pihaknya akan terus mencermati ruang penurunan suku bunga acuan, dengan inflasi yang rendah dan keinginan untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi, di tengah ketidakpastian ekonomi global saat ini.
Dia menjelaskan, ketidakpastian di pasar keuangan global dipicu oleh rencana kebijakan fiskal dan moneter Amerika Serikat (AS) di era Presiden Terpilih Donald Trump yang berdampak pada imbal hasil obligasi AS atau yield US Treasury.
Bank sentral nasional memperkirakan kebijakan fiskal pemerintah AS yang agresif tahun depan akan menyebabkan defisit anggaran Negeri Paman Sam melebar hingga menjadi 7,7%. Hal ini tentu akan berdampak pada prospek yield US Treasury.
“Yield US Treasury tenor 2 tahun pada kuartal IV berada di kisaran 4,2%, bisa naik menjadi 4,5% pada akhir 2025. Sementara itu, US Treasury 10 tahun yang sekarang sekitar 4,3% akan naik menjadi 4,7% tahun depan,” ungkap Perry.
Kenaikan yield US Treasury akan memikat aliran dana asing yang berada di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, beralih ke pasar keuangan AS. Pada akhirnya, aliran dana asing yang keluar dari pasar keuangan Indonesia akan melemahkan rupiah.
Tak hanya itu, dampak lain dari kebijakan AS tentu akan memperkuat indeks dolar dan membuat nilai tukar mata uang di regional, termasuk Indonesia, semakin melemah.
Berdasarkan hasil RDG BI, penurunan suku bunga kebijakan atau fed fund rate (FFR) 2024 kemungkinan masih sesuai perkiraan BI, tapi dengan pernyatan yang hawkish.
Maka itu, BI memperkirakan penurunan FFR pada 2025 tetap akan terjadi, tetapi jadwalnya akan mundur. BI memproyelso FFR akan menurun sebesar 50 basispoin (bps) dengan dua kali penurunan, yakni masing-masing 25 bps.
“Semula kami perkirakan pada Maret dan Mei, tapi kemudian akan mundur menjadi Maret dan Juni 2025,” sebut Perry.