China kembali mencatat deflasi pada April 2025, memperpanjang tren penurunan harga konsumen selama tiga bulan berturut-turut. Hal ini memperkuat kekhawatiran terhadap lemahnya permintaan domestik dan meningkatnya tekanan eksternal akibat tarif tinggi dari Amerika Serikat.
Data dari Biro Statistik Nasional yang dirilis Sabtu (10/5/2025) menunjukkan indeks harga konsumen (Consumer Price Index/CPI) turun 0,1% secara tahunan. Angka ini sama dengan penurunan pada Maret dan sejalan dengan proyeksi median ekonom dalam survei Bloomberg.
Sementara itu, indeks harga produsen (Producer Price Index/PPI) anjlok lebih dalam menjadi minus 2,7% pada April, dibandingkan penurunan 2,5% pada bulan sebelumnya. Ini menjadi bulan ke-31 berturut-turut China mengalami deflasi pabrik.
Situasi diperkirakan makin memburuk setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberlakukan tarif 145% atas sebagian besar produk ekspor China awal April lalu. Sebagai respons, Beijing juga menerapkan tarif balasan.
Perang dagang ini menambah beban produsen China. Banyak perusahaan kini memilih mengalihkan produk ekspornya ke pasar domestik, yang membuat persaingan harga makin ketat dan memaksa penurunan harga lebih lanjut.
“Upaya kebijakan untuk meningkatkan konsumsi sejak kuartal keempat tahun lalu tampaknya masih gagal mendapatkan banyak daya tarik,” tulis David Qu, ekonom Bloomberg Economics, dalam catatan risetnya.
Menurut Qu, langkah pemerintah berikutnya harus lebih agresif. “Kuncinya, pemerintah harus meningkatkan dukungan fiskal dengan cepat—terutama jika negosiasi dengan AS gagal mengurangi tarif.”
Tekanan deflasi tak hanya berdampak pada sektor produsen, tetapi juga melemahkan daya beli konsumen. Kenaikan tarif dari AS menyebabkan hilangnya lapangan kerja dan penghasilan di berbagai sektor, memperlemah konsumsi rumah tangga.
Kondisi ini semakin menantang karena produsen dan penyedia jasa terpaksa menurunkan harga untuk mempertahankan pasar. Akibatnya, inflasi tetap rendah bahkan di tengah stimulus ekonomi.
Dalam tiga bulan pertama 2025, perekonomian China terus mengalami deflasi. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB)—yang mengukur tingkat harga secara keseluruhan dalam perekonomian—mengalami penurunan selama delapan kuartal berturut-turut. Ini adalah rentetan terpanjang sejak data triwulanan pertama kali dicatat pada 1993.
Untuk merespons perlambatan ini, otoritas China telah mengumumkan sejumlah kebijakan. Pemerintah memangkas suku bunga kebijakan dan menurunkan rasio cadangan wajib perbankan untuk memperlonggar likuiditas.
Langkah tersebut diharapkan mampu merangsang kredit dan belanja konsumen, meski sejumlah analis meragukan efektivitasnya tanpa adanya perbaikan fundamental di sisi permintaan.
Di sisi lain, China dan Amerika Serikat dikabarkan akan menggelar pembicaraan dagang pertama mereka sejak Trump menjabat kembali tahun ini. Dialog ini berpotensi membuka ruang pengurangan tarif jika terjadi kesepakatan antara kedua negara.
Namun hingga saat ini, ketegangan perdagangan masih menjadi hambatan utama yang membayangi prospek pemulihan ekonomi China di tengah lemahnya konsumsi dan tekanan harga yang berkepanjangan.