Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengklaim kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% tidak akan menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menyatakan bahwa dampak kenaikan PPN terhadap inflasi hanya sekitar 0,2%.
Dwi menjelaskan bahwa inflasi saat ini berada pada tingkat rendah, yakni 1,6% secara tahunan (year-on-year). Pemerintah juga optimistis menjaga inflasi sesuai target APBN 2025 di kisaran 1,5%-3,5%. “Kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap daya beli masyarakat,” ujarnya, Sabtu (21/12/2024).
Ia menambahkan, saat PPN naik dari 10% ke 11% pada April 2022, tidak ada lonjakan harga barang atau jasa yang berarti. Dwi menyebutkan bahwa inflasi pada 2022 yang mencapai 5,51% lebih disebabkan oleh faktor eksternal, seperti tekanan harga global, gangguan suplai pangan, dan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM).
Namun, kajian Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menunjukkan potensi penurunan konsumsi rumah tangga hingga 0,26% akibat kenaikan PPN menjadi 12%. Laju ekonomi Indonesia juga berisiko melemah, dengan proyeksi penurunan PDB sebesar 0,17%. Data terakhir Bank Indonesia mencatat tingkat konsumsi masyarakat pada Oktober 2024 berada di angka 74,5%, jauh di bawah tren awal tahun.
Sementara itu, Center of Economic and Law Studies (Celios) memperkirakan inflasi bisa mencapai 4,11% pada 2025, di luar sasaran inflasi yang ditetapkan pemerintah sebesar 2,5% ± 1%. Celios menyoroti bahwa kenaikan PPN dari 10% ke 11% pada 2022 sebelumnya juga memicu lonjakan inflasi dari 1,56% menjadi 4,21%.
Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, menyebutkan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% akan berdampak signifikan pada pengeluaran masyarakat kelas menengah. “Pengeluaran masyarakat kelas menengah diperkirakan naik Rp354.293 per bulan, yang dapat memperburuk fenomena penurunan kelas menengah ke kelas menengah rentan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Media menekankan bahwa kebijakan ini bisa memicu tekanan ekonomi lebih besar, terutama bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah. Hal ini berisiko menghambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan ketidaksetaraan pendapatan di masa depan.