Sektor manufaktur Indonesia kian terpuruk di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Jatuhnya raksasa tekstil Sritex, penutupan pabrik Sanken, serta penurunan kapasitas produksi di beberapa pabrik Jawa Barat menambah daftar panjang kelesuan industri. Padahal, manufaktur selama ini menjadi pilar utama ekonomi nasional dengan kontribusi besar terhadap ekspor dan penciptaan lapangan kerja.
Berbeda dengan Indonesia, negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam berhasil menjadikan sektor manufaktur sebagai motor pertumbuhan ekonomi. Data ASEAN Statistical Year Book mencatat, Vietnam memiliki penyerapan tenaga kerja manufaktur tertinggi di Asia Tenggara, mencapai 23,3% dari total angkatan kerja, diikuti Thailand (16%) dan Malaysia (16,8%). Sementara itu, Indonesia masih tertinggal dalam pemanfaatan sektor ini untuk menekan angka pengangguran.
Kontribusi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia juga terus menurun. Dari level 28% dua dekade lalu, kini hanya tersisa 18,3% pada 2022. Sebaliknya, Malaysia mencatatkan kontribusi manufaktur sebesar 23,4%, sementara Vietnam dan Thailand masing-masing mencapai 24,8% dan 27%. Penurunan ini turut berdampak pada stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih berkutat di angka 5%, jauh di bawah Malaysia (8,7%) dan Vietnam (8%).
Selain melemahnya daya saing industri, arus investasi asing langsung (FDI) ke sektor manufaktur Indonesia juga mengalami tekanan. Berdasarkan ASEAN Investment Report 2024, FDI manufaktur Indonesia hanya mencapai US$14 miliar pada 2023, turun 15% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, Vietnam justru mencatatkan rekor US$18,5 miliar, membuktikan daya tarik investasinya yang lebih kompetitif.
Pengamat menilai bahwa kondisi ini mengarah pada deindustrialisasi dini. Guru Besar Universitas Paramadina, Ahmad Badawi Saluy, menyebut faktor seperti ketidakpastian hukum, birokrasi berbelit, serta praktik korupsi menghambat investasi dan pemulihan sektor industri. Jika kondisi ini tidak segera diatasi, target pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto akan sulit tercapai.