Di sebuah bengkel di Jawa Timur, Dimas Firmansyah, 18 tahun, tengah memperbaiki mesin truk. Ia berharap dapat bekerja di industri tambang batu bara setelah lulus. Namun, tidak semua lulusan sekolah kejuruan seberuntung Dimas. Kurangnya pelatihan, guru berkualitas, serta fasilitas membuat banyak lulusan kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan industri.
Indonesia memiliki tenaga kerja terbesar keempat di dunia, tetapi lebih dari sepertiga penduduknya hanya memiliki pendidikan dasar atau lebih rendah. Tingginya angka pengangguran di kalangan anak muda menghambat ambisi Presiden Prabowo Subianto untuk mengembangkan industri kendaraan listrik dan energi bersih. Protes besar pun pecah di Jakarta akibat minimnya investasi di bidang pendidikan dibandingkan proyek infrastruktur.
Meski pemerintah telah meningkatkan pendidikan wajib dan program pengembangan keterampilan, reformasi kurikulum dan peningkatan kualitas guru masih tertinggal. Menurut Program for International Student Assessment (PISA), mayoritas pelajar Indonesia belum mencapai tingkat kecakapan dasar dalam matematika, membaca, dan sains. Hal ini memperburuk daya saing tenaga kerja Indonesia di tingkat global.
Krisis tenaga kerja terampil juga berdampak pada investasi asing. Apple telah menanamkan US$16 miliar di Vietnam sejak 2019, sementara investasi di Indonesia hanya US$1 miliar meski pemerintah gencar menarik investor. Bahkan, perusahaan nikel besar asal China lebih memilih membawa pekerja terampil dari negara asal mereka dibanding merekrut tenaga lokal.
Beberapa perusahaan berinisiatif mengatasi masalah ini, seperti United Tractors yang bermitra dengan sekolah kejuruan untuk memberikan pelatihan sesuai kebutuhan industri. Namun, solusi ini hanya bersifat sementara. Tanpa reformasi menyeluruh, industri berteknologi tinggi di Indonesia akan terus tertinggal dari negara pesaing seperti Vietnam dan Malaysia.
Presiden Joko Widodo sebelumnya telah mencoba merevitalisasi pendidikan kejuruan, tetapi sistem pendidikan yang terdesentralisasi menghambat perubahan. Sebaliknya, proyek infrastruktur senilai US$800 miliar berhasil membangun jalan, bandara, dan rel kereta api, meninggalkan warisan nyata yang tidak terlihat dalam sektor pendidikan.
Tanpa perbaikan mendasar, Indonesia berisiko kehilangan daya saing. Sementara itu, bagi Dimas dan teman-temannya, tujuan utama tetap sama: mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar di industri tambang dan manufaktur, bukan di sektor teknologi masa depan.