Harga kopi global mengalami lonjakan signifikan, dengan arabika di bursa ICE mendekati US$4 per pon pada 30 Januari 2025. Kenaikan ini dipicu pasokan ketat, cuaca ekstrem di Brasil, dan rendahnya stok bersertifikat di ICE yang turun menjadi 900.000 kantong. Para spekulan tetap optimistis, sementara roaster besar seperti Nestlé dan JDE Peet’s masih kekurangan pasokan.
Robusta juga ikut naik 2,2% ke US$5.734 per metrik ton, mendekati rekor tertinggi. Petani Vietnam menahan penjualan dengan harapan harga terus naik, sementara aktivitas perdagangan melambat menjelang Tahun Baru Imlek. Kondisi ini semakin memperketat pasokan kopi dunia.
Indonesia, sebagai produsen kopi terbesar kelima dunia, juga terdampak. Data BPS menunjukkan produksi kopi nasional turun dari 771 ribu ton pada 2022 menjadi 756,1 ribu ton pada 2023. Penurunan ini disebabkan oleh perubahan iklim, serangan hama, dan minimnya peremajaan tanaman, yang mengancam sektor kopi sebagai sumber penghidupan jutaan petani.
Ekspor kopi Indonesia turut merosot, dari 433.881 ton pada 2022 menjadi 276.335 ton pada 2023. Meski volume turun, nilai ekspor tetap tinggi, mencapai US$916,5 juta atau sekitar Rp14,19 triliun, berkat lonjakan harga global. Namun, rendahnya produktivitas—hanya 780 kg per hektar dibandingkan Brasil (7.000 kg) dan Vietnam (3.500 kg)—menjadi tantangan besar.
Di sisi lain, konsumsi kopi dalam negeri terus meningkat. Data USDA mencatat konsumsi kopi nasional diperkirakan mencapai 4,79 juta kantong pada 2023/2024. Survei Snapchart pada September 2023 menunjukkan 79% masyarakat Indonesia minum kopi setidaknya sekali sehari, dengan mayoritas membelanjakan Rp6.000–Rp20.000 per cangkir.
Pemerintah dan pelaku industri mulai menyusun strategi untuk menyelamatkan sektor kopi nasional. Program peremajaan tanaman, peningkatan teknik pengolahan, serta adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi fokus utama. Jika upaya ini berjalan baik, Indonesia berpeluang mengoptimalkan ekspor dan mempertahankan posisinya sebagai pemain utama di industri kopi dunia.