Indonesia dinilai terlambat dalam memanfaatkan lonjakan harga gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) yang terjadi pada awal 2025, akibat terhentinya pasokan gas Rusia ke Eropa melalui Ukraina. Keterlambatan ini banyak disebabkan oleh penundaan operasional proyek Blok Masela, yang seharusnya sudah bisa dimanfaatkan untuk memproduksi LNG sejak lebih dari 10 tahun lalu.
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas), Moshe Rizal, menyatakan bahwa Indonesia seharusnya sudah melakukan perbaikan tata kelola hulu minyak dan gas (migas) sejak satu dekade lalu. Salah satu contoh ketidakpastian tata kelola adalah pengelolaan proyek Blok Masela yang sempat terhambat karena polemik mengenai peralihan rencana pengelolaan dari offshore ke onshore. Jika tidak ada isu tersebut, menurut Moshe, Indonesia sudah bisa memproduksi LNG lebih cepat dan berpotensi ikut memasok gas ke Eropa yang kini kekurangan pasokan.
Proyek Lapangan Abadi Masela, yang diperkirakan memiliki puncak produksi mencapai 9,5 juta ton LNG per tahun (MTPA) dan gas pipa 150 MMSCFD, mengalami penundaan yang signifikan. Saat ini, proyek yang sempat terhambat karena kepentingan politis ini baru diperkirakan dapat beroperasi pada 2029. “Jika proyek ini berjalan sesuai rencana, kita sudah bisa menikmati keuntungan, bahkan membantu suplai gas ke Eropa. Sayangnya, semua itu terlewatkan,” ujar Moshe.
Pada 2023, Indonesia masih menghadapi kendala besar akibat intervensi pemerintah dalam peralihan rencana pengelolaan Blok Masela. Proses ini menyebabkan Shell Upstream Overseas Ltd. (SUOS) meninggalkan proyek tersebut dan Inpex Masela Limited pun enggan mengakuisisi sisa saham yang ditinggalkan Shell. Pada akhirnya, saham Blok Masela diambil alih oleh Pertamina dan Petronas pada 2023. Moshe mengingatkan bahwa kasus ini menjadi preseden buruk bagi Indonesia di mata investor, yang melihat bahwa proyek besar dapat dipolitisasi dan mengalami hambatan yang tak perlu terjadi.
Masuk ke 2025, Indonesia menghadapi kenyataan bahwa proyek LNG terbesar di Tanah Air, Blok Masela, baru bisa berproduksi sekitar 3 hingga 5 tahun ke depan, sementara harga LNG yang tinggi akibat ketegangan Rusia-Ukraina bisa tidak bertahan lama. Indonesia kehilangan peluang besar untuk memanfaatkan lonjakan harga LNG yang terjadi saat ini, yang disebabkan oleh ketatnya pasokan global.
Meski demikian, Moshe menilai Indonesia masih dapat memanfaatkan proyek LNG lainnya seperti Tangguh yang dikelola BP. Terlebih, Tangguh Train 3 sudah mulai beroperasi, namun Indonesia masih menghadapi tantangan dalam mengoptimalkan proyek ini. Salah satu kendala utama adalah kebutuhan untuk memasang teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) yang memerlukan pembiayaan besar. Menurut Moshe, biaya ini harus ditanggung oleh Indonesia, dan dengan demikian, pendapatan yang seharusnya bisa didapatkan dari proyek LNG ini akan berkurang.
Ke depan, Indonesia masih memiliki harapan besar dengan proyek gas alam lainnya, seperti proyek enhanced gas recovery (EGR) di Lapangan Ubadari dan Vorwata. Proyek-proyek ini dapat meningkatkan pasokan gas domestik yang diharapkan dapat menopang produksi LNG pada 2024 hingga 2030. Proyek EGR Ubadari saja diperkirakan dapat menghasilkan tambahan 28 bcm gas alam, yang dapat memperpanjang umur proyek LNG Tangguh dan membantu meningkatkan pasokan LNG Indonesia.