Investor Jepang mulai membeli obligasi pemerintah China untuk pertama kalinya, didorong oleh imbal hasil yang lebih tinggi akibat perlambatan ekonomi dan deflasi. Asset Management One Co., perusahaan investasi berbasis di Tokyo, mulai mengakumulasi obligasi China sejak Oktober 2023 dan terus meningkatkan eksposur terhadap risiko suku bunga negara tersebut.
Manajer dana di perusahaan tersebut, Hikaru Tanaka, melihat kesamaan antara kondisi ekonomi China saat ini dengan Jepang pada 1990-an, ketika utang dan sektor real estat yang berlebihan menyebabkan stagnasi ekonomi. Obligasi China mencatat imbal hasil lebih dari 9% pada 2024, mengungguli surat utang negara lain seiring melemahnya ekonomi yang menekan suku bunga.
Meningkatnya bobot obligasi China dalam Indeks Obligasi Pemerintah Dunia FTSE Russell turut mendorong minat investor Jepang. Kepemilikan obligasi China oleh investor Jepang naik 53% tahun lalu, menjadikannya peningkatan terbesar di antara pasar yang masuk dalam indeks tersebut.
Keuntungan ini semakin jelas ketika imbal hasil obligasi 30 tahun China turun di bawah imbal hasil Jepang untuk pertama kalinya dalam hampir dua dekade. Meski sempat meningkat dalam beberapa pekan terakhir akibat penundaan pemotongan suku bunga dan reli saham teknologi, imbal hasil obligasi China tetap sekitar 50 basis poin lebih rendah dari Jepang.
Tanaka memperkirakan imbal hasil obligasi China 10 tahun akan turun di bawah 1,5% pada akhir tahun, sekitar 20 basis poin lebih rendah dari level saat ini. Namun, ia tetap berhati-hati karena otoritas China kemungkinan tidak akan terburu-buru menurunkan suku bunga demi menjaga stabilitas yuan.
Dengan tekanan deflasi yang masih kuat, investor global terus memantau langkah pemerintah China dalam menstabilkan perekonomian, yang akan menentukan arah investasi obligasi ke depan.