Pemerintah RI akan mulai menerapkan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari mendatang, meskipun menuai kritik dari berbagai pihak. Kebijakan ini dinilai memberatkan masyarakat yang daya belinya sedang melemah akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) serta perlambatan ekonomi.
Mengacu pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang diterbitkan pada 2021, kenaikan PPN ini dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan negara. Namun, para ekonom menyayangkan pemerintah tidak memanfaatkan peluang menurunkan tarif PPN hingga 5% untuk meredam dampak ekonomi yang melemah. Dengan kondisi daya beli masyarakat yang terus tergerus, penerapan kebijakan ini dianggap semakin menekan konsumsi domestik.
Menurut kajian Center of Economic and Law Studies (Celios), kenaikan PPN ini dilatarbelakangi kebutuhan pemerintah untuk memenuhi pembayaran utang pada 2025, yang mencapai Rp1.300 triliun. Angka tersebut setara dengan 59,3% penerimaan perpajakan tahun itu. Dalam satu dekade terakhir, beban bunga utang pemerintah meningkat 254%, jauh melampaui kenaikan anggaran subsidi maupun perlindungan sosial.
Sifat regresif dari PPN membuat kebijakan ini lebih berdampak pada masyarakat kelas menengah ke bawah. Celios menyebut, penerimaan tambahan Rp75 triliun dari kenaikan PPN kemungkinan besar akan dialokasikan untuk membayar utang, bukan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, insentif yang disediakan pemerintah, seperti diskon PPnBM untuk mobil hybrid, dinilai tidak relevan bagi mayoritas masyarakat yang daya belinya tengah tertekan.
Tekanan ekonomi juga terlihat dari meningkatnya angka PHK yang mencatat 80.000 kasus pada Desember 2024. Data Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan, jumlah ini meningkat 17,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, dengan DKI Jakarta menjadi provinsi dengan kasus PHK tertinggi. Para pengamat memperkirakan angka ini akan terus bertambah jika daya beli masyarakat tak kunjung membaik.
Di sisi lain, Mandiri Spending Index (MSI) menunjukkan stagnasi belanja masyarakat pada kuartal IV-2024. Tren kontraksi belanja terlihat di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Data menunjukkan masyarakat mulai mengurangi belanja di luar rumah dan lebih memilih memasak sendiri untuk menghemat pengeluaran.
Ekonom menilai, tren pelemahan daya beli ini membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Kebijakan untuk menjaga daya beli, terutama bagi kelompok bawah dan menengah, dinilai sangat penting guna menjaga stabilitas konsumsi rumah tangga sebagai pendorong utama ekonomi. Tanpa langkah yang tepat, kebijakan kenaikan PPN ini justru berpotensi memperburuk perlambatan ekonomi domestik.