Kebijakan Presiden Prabowo Subianto terkait ekspansi industri kelapa sawit Indonesia mendapat sorotan dari sejumlah pakar, terutama mengenai pentingnya keberlanjutan dan upaya reforestasi. Presiden Asian Society of Agricultural Economists (ASAE), Bustanul Arifin, menekankan bahwa rencana penambahan lahan kelapa sawit harus dibarengi dengan kebijakan reforestasi atau aforestasi. Hal ini penting untuk menjaga komitmen Indonesia dalam upaya pengurangan perubahan iklim.
Bustanul menjelaskan bahwa penambahan lahan kelapa sawit, terutama jika melibatkan perubahan dari hutan menjadi lahan sawit, dapat mengurangi kemampuan untuk menyerap dan menyimpan karbon. Tanaman hutan, menurutnya, lebih efektif dalam menangkap karbon dibandingkan dengan tanaman sawit. Oleh karena itu, ia menyarankan agar ada upaya reforestasi untuk menggantikan pengurangan kapasitas karbon tersebut.
Selain itu, Bustanul juga mengkritik pembukaan lahan sawit tanpa adanya kompensasi reforestasi, terutama di lahan gambut. Menurutnya, pembukaan lahan gambut akan meningkatkan emisi karbon, yang bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi perubahan iklim. “Di lahan gambut pasti akan menimbulkan emisi karbon baru, sementara pada saat yang sama kita menandatangani komitmen untuk menurunkan perubahan iklim,” ujarnya.
Namun, tidak semua pihak menentang kebijakan ini. Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr. Gulat ME Manurung, menyampaikan apresiasi terhadap kebijakan Presiden Prabowo terkait kelapa sawit. Gulat menyatakan bahwa 17 juta kepala keluarga petani sawit di seluruh Indonesia mendukung penuh kebijakan tersebut, karena sawit merupakan komoditas strategis yang memberikan kontribusi besar terhadap ekonomi Indonesia.
Gulat juga menjelaskan bahwa meningkatkan produktivitas sawit bisa dilakukan melalui dua strategi, yaitu replanting (peremajaan sawit rakyat) dan ekstensifikasi (penambahan luas lahan sawit). Ia menekankan pentingnya memanfaatkan tanah terdegradasi atau terlantar, seperti bekas lahan pertambangan, untuk ekspansi sawit. Riset Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB pada tahun 2023 juga merekomendasikan penggunaan lahan-lahan tersebut untuk memperluas industri kelapa sawit.
Meskipun Indonesia telah menerapkan prinsip keberlanjutan dalam industri kelapa sawit, seperti melalui penerapan standar RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil), tantangan tetap ada. Salah satunya adalah hambatan masuknya produk kelapa sawit Indonesia ke Eropa. Uni Eropa khawatir bahwa sawit Indonesia akan mengancam produk mereka, seperti minyak bunga matahari dan minyak kanola.
Eropa akan segera menerapkan peraturan deforestasi (EUDR) yang dapat memengaruhi ekspor sawit Indonesia ke negara-negara Uni Eropa. Meski pangsa pasar sawit Indonesia di Eropa tidak terlalu besar, Bustanul mengingatkan bahwa Eropa sering menjadi trendsetter bagi negara-negara lain. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk terus meningkatkan daya saing serta melaksanakan diplomasi dan kampanye positif untuk produk sawitnya.