Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rizal Taufikurahman, mengkritik kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang berlaku mulai Januari 2025. Rizal menilai bahwa tanpa adanya penguatan sistem pengawasan, kebijakan tersebut justru berisiko memperburuk praktik penghindaran pajak di Indonesia. Fenomena ini sudah disoroti dalam laporan Bank Dunia, yang mengungkapkan bahwa sekitar 25% perusahaan di Indonesia melakukan penghindaran pajak, terutama PPh Badan dan PPN.
Menurut Rizal, jika pemerintah menaikkan tarif PPN tanpa memperbaiki sistem pengawasan dan administrasi pajak, maka perusahaan-perusahaan akan semakin mudah mencari celah untuk menghindari kewajiban mereka. Hal ini dapat menyebabkan target penerimaan negara tidak tercapai, serta memberi beban lebih besar pada masyarakat berpendapatan rendah yang menjadi konsumen akhir.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% akan menambah penerimaan negara sebesar Rp75 triliun pada 2025. Namun, Rizal mengingatkan bahwa pemerintah perlu lebih fokus pada perbaikan sistem perpajakan yang lebih struktural sebelum menaikkan tarif pajak. Ia mengusulkan sejumlah langkah seperti digitalisasi layanan perpajakan, penegakan hukum yang tegas, dan edukasi kepada wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pajak bagi pembangunan negara.
Laporan Bank Dunia mengungkapkan bahwa banyak perusahaan, terutama yang non-eksportir, merasa administrasi pajak sebagai beban berat dan lebih memilih untuk menghindari kewajiban pajak. Hal ini juga terjadi di kalangan usaha kecil yang menganggap sistem perpajakan di Indonesia terlalu rumit dan tidak memberikan insentif untuk kepatuhan sukarela. Oleh karena itu, perbaikan sistem perpajakan dan peningkatan transparansi dalam administrasi pajak sangat dibutuhkan agar kebijakan fiskal yang diterapkan dapat efektif dan meningkatkan penerimaan negara.