China menghadapi tantangan besar dalam menembus pasar kendaraan listrik (EV) di Eropa, yang dinilai dapat berdampak pada serapan nikel Indonesia. Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menyebut bahwa produsen baterai EV asal China sangat bergantung pada pasokan nikel dari Indonesia.
Namun, langkah Eropa memperketat regulasi melalui pengesahan EU Battery Regulation pada 18 Februari 2025 menimbulkan kekhawatiran. UU tersebut akan memberlakukan standar jejak karbon untuk baterai EV dan memperketat persyaratan terkait aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). “Ke depannya, pasar dunia akan berbondong-bondong menerapkan standar ESG yang tinggi untuk komoditas nikel,” ujar Meidy, Senin (23/12/2024).
Mulai 2027, Eropa juga akan mengharuskan setiap baterai EV memiliki “paspor baterai,” memastikan ketertelusuran bahan baku dan kepatuhan terhadap standar ESG. Meidy menambahkan, hilirisasi nikel di Indonesia saat ini masih didominasi produksi nikel kelas 2, yang sebagian besar digunakan untuk produk intermediate, membuat Indonesia berisiko menghadapi oversupply.
Di sisi lain, upaya China menembus pasar Eropa terhambat oleh peningkatan tarif impor hingga 35% dan tuduhan subsidi tidak adil. Produsen besar seperti BYD dan MG dari SAIC Motor hanya menguasai 7,4% pendaftaran EV di Eropa pada November 2024, turun dari 8,2% di bulan sebelumnya.
Langkah proteksionis Eropa menambah beban produsen China. Tarif yang dikenakan mencapai hingga 45% bagi SAIC, membuat pendaftaran EV MG turun drastis hingga 58% dibanding tahun lalu. Meski demikian, BYD masih mencatat pertumbuhan positif dengan jumlah registrasi meningkat lebih dari dua kali lipat pada November 2024.
Situasi ini mempertegas tantangan yang dihadapi produsen China di tengah perlambatan adopsi EV secara global. Di Jerman dan Prancis, pendaftaran EV dari produsen China turun lebih dari separuh pada November 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Sebaliknya, di Inggris yang tidak memberlakukan tarif serupa, produsen China mencatat kenaikan 17% dari tahun ke tahun.
Dengan regulasi ketat dan persaingan sengit, produsen China kini mempertimbangkan untuk melokalisasi produksi di Eropa. Namun, langkah ini membutuhkan waktu panjang untuk memberikan dampak signifikan.