Pemerintah China mulai membatasi ekspansi smelter tembaga guna mengendalikan kelebihan kapasitas yang merugikan industri. Kebijakan ini tidak serta-merta menghentikan pembangunan smelter baru, tetapi membatasi ekspansi hanya bagi perusahaan yang memiliki pasokan bijih tembaga sendiri. Langkah ini menandai upaya China untuk menekan persaingan berlebihan yang mengancam profitabilitas industri.
China menghadapi tantangan besar karena masih mengimpor sebagian besar bahan baku tembaga, sementara ketersediaan bijih semakin langka. Akibatnya, banyak perusahaan mungkin kesulitan memenuhi persyaratan baru. Meski demikian, analis memperkirakan kebijakan ini masih memberi ruang manuver, sehingga tidak langsung menekan pertumbuhan industri tembaga.
Industri peleburan tembaga di China mengalami tekanan karena biaya pemrosesan terus merosot akibat persaingan ketat. Produksi yang berlebihan telah menekan harga, menciptakan deflasi di sektor industri selama lebih dari dua tahun. Kondisi ini mirip dengan sektor baja, yang sebelumnya menghadapi tarif tinggi dari AS akibat surplus produksi yang membanjiri pasar global.
Regulasi baru ini menjadi langkah pemerintah pusat untuk mengendalikan pasar setelah industri gagal menerapkan disiplin pasokan secara mandiri. Meski ada intervensi, pemerintah tetap mempertimbangkan pentingnya tembaga bagi sektor energi terbarukan dan kendaraan listrik, sehingga kebijakan ini tidak akan menghentikan ekspansi secara total.
Sebagai solusi, pemerintah mendorong perusahaan untuk mengamankan pasokan bahan baku mereka sendiri, baik melalui eksplorasi domestik maupun akuisisi tambang luar negeri. Targetnya adalah meningkatkan sumber daya tambang tembaga dalam negeri hingga 10% dalam tiga tahun ke depan.
China kini mengandalkan eksplorasi untuk membalikkan tren penurunan produksi tembaga, yang turun menjadi 1,7 juta ton pada 2023 dari 1,94 juta ton pada 2022. Tibet menjadi salah satu wilayah strategis, dengan Zijin Mining Group berencana meningkatkan produksi dari tambang Julong hingga 600.000 ton.