Industri smelter nikel, khususnya pirometalurgi, di Indonesia menghadapi risiko kebangkrutan jika permintaan global dan harga nikel tidak membaik. Saat ini, sektor ini mengalami kejenuhan akibat jumlah smelter yang berlebihan dibandingkan dengan kebutuhan pasar. Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS), Muhammad Habib, menyatakan bahwa gelombang penutupan smelter sangat mungkin terjadi karena ketergantungan industri ini pada permintaan global.
Harga nikel yang terus anjlok semakin memperparah kondisi. Per 5 Maret 2025, harga nikel di London Metal Exchange (LME) turun ke level US$15.901 per ton, jauh dari puncaknya pada 2020. Akibatnya, banyak smelter harus membatasi produksi atau bahkan menghentikan operasionalnya karena harga yang tidak kompetitif. Selain itu, kelebihan jumlah smelter juga membuat persaingan semakin ketat, mengurangi margin keuntungan perusahaan.
Selain faktor eksternal, kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia juga dinilai kurang memperhitungkan permintaan domestik. Pemerintah mendorong investasi besar-besaran dalam industri ini tanpa mempertimbangkan keseimbangan antara jumlah smelter dan kebutuhan pasar. Dari total 190 proyek smelter yang terdata oleh Kementerian ESDM pada akhir 2024, mayoritas berbasis pirometalurgi yang hanya menghasilkan bahan baku baja nirkarat, sementara hanya sebagian kecil yang mampu memproduksi bahan baku baterai melalui hidrometalurgi.
Cadangan bijih nikel yang tersedia juga menjadi tantangan besar. Dengan asumsi seluruh smelter beroperasi, kebutuhan bijih nikel akan meningkat tiga kali lipat dari kondisi saat ini. Jika tidak ada tambahan cadangan, industri nikel Indonesia diproyeksikan hanya mampu bertahan 4—5 tahun ke depan.
Beberapa smelter kecil di Jawa telah memangkas produksi ke tingkat minimum atau berhenti beroperasi sepenuhnya. Biaya pengiriman bijih dari Sulawesi ke Jawa semakin membebani keuangan mereka. Bahkan, smelter yang berlokasi di pusat tambang pun mengalami kesulitan. Beberapa pabrik peleburan yang dikelola Tsingshan Holding Group di Morowali, misalnya, melaporkan kerugian hingga US$205 juta akibat depresiasi nilai pascapajak.
Situasi ini kontras dengan beberapa tahun lalu, ketika larangan ekspor bijih dan insentif pajak mendorong investor membangun smelter di dalam negeri. Dulu, pengembalian modal bisa diperoleh dalam waktu dua tahun, tetapi kini industri smelter kesulitan bertahan. Jika tidak ada kebijakan strategis yang menyesuaikan dengan kondisi pasar global dan domestik, risiko kebangkrutan massal industri smelter nikel Indonesia semakin nyata.