Rencana Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk membatasi pendanaan publik bagi proyek minyak dan gas (migas) gagal tercapai, menyusul ketidaksepakatan di antara negara-negara anggota. Langkah yang didukung oleh Uni Eropa (UE), Inggris, dan Amerika Serikat (AS) ini menghadapi kendala besar beberapa pekan sebelum Donald Trump dilantik sebagai Presiden AS.
Upaya pembatasan dana oleh lembaga kredit ekspor, yang bertujuan untuk mengurangi emisi global, mendapat pukulan telak. Para aktivis lingkungan menganggap kebijakan ini sebagai peluang untuk mengalihkan pendanaan ke proyek energi ramah lingkungan. “Kita tidak mampu mengeluarkan uang lagi untuk ekspansi bahan bakar fosil,” tegas Adam McGibbon dari Oil Change International.
Negosiasi intensif, termasuk pertemuan di Paris dan diskusi virtual, gagal mengatasi isu teknis seperti penghitungan emisi proyek energi. Negara seperti Korea Selatan dan Turki menyuarakan kekhawatiran terkait keamanan nasional dan persaingan. Sementara itu, Bank Ekspor-Impor AS juga menghambat pembicaraan dengan keberatan terhadap pembatasan proyek energi tertentu.
Di bawah pemerintahan Joe Biden, AS mendukung pembatasan tambahan terhadap pembiayaan proyek migas. Namun, dengan Trump yang akan segera mengambil alih, kebijakan ini diprediksi sulit dilanjutkan. Trump dikenal pro-energi fosil dan mendorong pengembangan sektor minyak serta gas domestik.
Lembaga kredit ekspor di negara-negara OECD rata-rata mengucurkan dana sebesar US$41 miliar per tahun untuk proyek migas. Meski Biden pernah berkomitmen mengakhiri pendanaan ini, aliran dana terus berlanjut. Baru-baru ini, Bank Ekspor-Impor AS menyetujui pinjaman senilai US$527 juta untuk proyek gas alam di Guyana yang melibatkan Exxon Mobil Corp dan mitra lainnya.
Para pegiat lingkungan mendesak pemerintahan Biden memanfaatkan sisa waktu sebelum Trump berkuasa untuk menekan pihak-pihak yang keberatan, seperti Korea Selatan dan Turki. Kate DeAngelis dari Friends of the Earth menyebut kegagalan melanjutkan negosiasi akan menjadi kerugian besar bagi iklim dan warisan pemerintahan Biden.