Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengakui bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) memberikan dampak besar pada sektor minyak dan gas bumi (migas) hingga pertambangan. Rupiah pada siang ini tercatat semakin melemah, menyentuh angka Rp16.289/US$, memicu kekhawatiran di kalangan pelaku usaha yang mengandalkan dolar dalam aktivitas ekonomi mereka.
Bahlil menjelaskan bahwa salah satu perusahaan yang paling terpengaruh oleh fluktuasi mata uang ini adalah PT Pertamina (Persero), yang mengimpor bahan bakar minyak (BBM) dan gas minyak cair (LPG). Sektor migas memerlukan sejumlah besar dolar AS, mencapai sekitar Rp500 triliun hingga Rp550 triliun per tahun untuk memenuhi kebutuhan impor tersebut. “Itu pasti kita tukar dengan dolar,” kata Bahlil saat konferensi pers di kantor BPH Migas, Kamis (19/12/2024).
Lebih lanjut, Bahlil juga mencatat dampak pelemahan rupiah terhadap sektor pertambangan, yang mengandalkan impor alat dan suku cadang. Menurutnya, untuk mengurangi ketergantungan pada dolar, salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah mengurangi volume impor, meskipun tantangan ini harus dihadapi dengan manajemen yang baik oleh pelaku usaha. “Tugas kita adalah bagaimana mengurangi impor agar kebutuhan terhadap dolar tidak terlalu banyak,” ujar Bahlil.
Di pasar valuta asing, rupiah terus mengalami pelemahan. Menurut data Bloomberg, rupiah dibuka anjlok 0,76% pada level Rp16.213/US$ di pasar spot, dan terus melemah ke level Rp16.225/US$. Rupiah pun berisiko menembus angka Rp16.300/US$, yang menjadi level support terdekat. Saat ini, rupiah menjadi mata uang terlemah di Asia dengan depresiasi sebesar 1,22%.
Pada perdagangan sesi pertama Kamis siang, rupiah masih bertahan di angka Rp16.275/US$, meskipun IHSG tergerus 1,63% ke level 6.991,84. Kondisi ini semakin diperburuk dengan arus keluar modal asing (capital outflow) yang semakin besar. Data terbaru Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa pada kuartal IV-2024, dana keluar sudah mencapai US$2,4 miliar, dengan sektor saham dan sekuritas rupiah menjadi penyumbang utama.
Bahlil menyatakan bahwa ketidakpastian ekonomi global dan pergerakan nilai tukar yang fluktuatif meningkatkan risiko berinvestasi di Indonesia. Hal ini membuat arus modal asing semakin deras keluar, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi domestik. Oleh karena itu, pemerintah perlu terus menjaga kebijakan yang dapat mengurangi ketergantungan terhadap dolar dan mendorong pertumbuhan sektor ekonomi yang lebih berkelanjutan.