Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto diperkirakan akan mendorong belanja negara lebih besar di tahun depan. Hal ini tercermin dari keputusan pemerintah untuk tetap memberlakukan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% mulai 1 Januari 2024, tanpa penundaan. Selain itu, pemerintah mengizinkan BUMN dan BUMD memanfaatkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) melalui pinjaman, di mana bunga dari pinjaman ini akan menjadi salah satu sumber tambahan penerimaan negara.
Menurut Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, strategi tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan penerimaan negara. Namun, ia menyebutkan bahwa nilai SAL pada akhir tahun ini kemungkinan tidak sebesar tahun lalu, mengingat penerimaan negara tahun ini lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya. “Jika SAL tersedia, nilainya berpotensi lebih kecil,” ujar Yusuf dalam wawancara dengan Kontan, Rabu (4/12).
Belanja Besar, Pertumbuhan Ekonomi Tetap Tantangan
Meski kebijakan ini berpotensi menambah pundi-pundi negara, Yusuf menilai dampaknya terhadap anggaran penerimaan 2024 masih terbatas. Dengan kondisi ini, pemerintah kemungkinan menghadapi keterbatasan dalam merealisasikan belanja yang optimal.
Ia juga meragukan bahwa belanja pemerintah akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8% tahun depan. Menurut Yusuf, kontribusi belanja pemerintah terhadap target pertumbuhan sebesar itu masih terlalu kecil untuk menjadi instrumen utama.
“Target pertumbuhan ekonomi 8% sulit tercapai hanya dengan belanja pemerintah yang ada. Kebijakan belanja perlu dibuat lebih efektif dan efisien, serta penerimaan negara harus ditingkatkan,” tambahnya.
Untuk mendukung hal ini, Yusuf menyarankan pemerintah menggali alternatif penerimaan, seperti pajak karbon dan pajak windfall dari komoditas.