Perusahaan global tengah menghadapi ketidakpastian besar akibat kebijakan tarif agresif Presiden Donald Trump. Dalam beberapa minggu pertama masa jabatannya, Trump memberlakukan tarif pada sekitar US$1,4 triliun barang impor dari Kanada, Meksiko, dan China—lebih dari tiga kali lipat dari periode pertamanya, menurut Tax Foundation.
Langkah ini memaksa banyak perusahaan menyesuaikan strategi bisnis mereka. Novo Nordisk A/S berencana meningkatkan produksi obatnya secara lokal untuk pasar AS, sementara Boeing Co menghadapi lonjakan biaya produksi akibat gangguan rantai pasokan. Di sektor ritel, Shein Group Ltd menawarkan insentif bagi pemasoknya untuk membangun pabrik di Vietnam guna menghindari tarif AS.
Kebijakan ini juga mengguncang industri otomotif. Produsen suku cadang seperti Continental AG, Schaeffler AG, dan Valeo SE mengakui bahwa mereka tak punya pilihan selain membebankan kenaikan biaya kepada konsumen. “Bagi kami sudah jelas: kami tidak bisa menanggung beban tambahan ini, dan kami memberi tahu pelanggan tentang hal itu,” kata CFO Continental, Olaf Schick.
Namun, bagi produsen mobil besar seperti Stellantis dan Volkswagen, menaikkan harga bukanlah solusi mudah. Menurut analisis Bloomberg Intelligence, tarif impor dari Meksiko dan Kanada dapat memangkas pendapatan tahunan mereka hingga €5,21 miliar. S&P Global Ratings bahkan menurunkan peringkat utang Stellantis, mengingat dampak besar tarif terhadap 417.000 kendaraan yang diimpor perusahaan tersebut ke AS.
Ancaman tarif 25% pada kendaraan dari Uni Eropa semakin menambah tekanan. Volvo Car AB mempertimbangkan untuk meningkatkan produksi di AS sebagai solusi. “Kami harus mulai mempertimbangkan untuk memproduksi lebih banyak mobil di AS. Kami punya kapasitas di Charleston, jadi itu bisa menjadi solusi,” ujar CEO Volvo Car, Jim Rowan.

Di sektor farmasi, dampak tarif bergantung pada apakah bea masuk dikenakan pada bahan baku atau produk jadi. CEO Sandoz, Richard Saynor, memperingatkan bahwa tarif dapat memperburuk akses pasien terhadap obat-obatan. “Dalam jangka pendek, ini bisa semakin memperburuk akses pasien. Dalam jangka menengah, kenaikan harga akan dibebankan kepada pembeli dan pada akhirnya kepada pasien,” ujarnya.
Eli Lilly telah mengumumkan investasi US$27 miliar untuk membangun empat pabrik manufaktur AS dalam lima tahun ke depan. Sementara itu, Pfizer lebih rentan terhadap tarif di Uni Eropa, mengingat perusahaan ini memiliki setidaknya 10 pabrik di seluruh Eropa.
Di sektor ritel, peritel besar seperti Target dan Walmart bersiap menghadapi lonjakan biaya akibat tarif impor dari China. Walmart bahkan meminta pemasoknya menurunkan harga hingga 10% guna menekan dampak tarif, meskipun langkah ini memicu ketegangan dengan pemasok China yang sudah bekerja dengan margin tipis.
Platform e-commerce Temu mengadopsi strategi baru dengan meminta pabrik China mengirimkan produk dalam jumlah besar ke gudang di AS sebelum dijual. Model bisnis ini memungkinkan mereka tetap bersaing meskipun ada tarif baru.
Kebijakan tarif Trump juga berimbas pada pasar minuman beralkohol. Pada Kamis (13/2/2025), ia mengancam akan memberlakukan tarif 200% pada anggur dan sampanye dari Uni Eropa, yang dapat merugikan perusahaan seperti LVMH, pemilik merek Moët & Chandon serta Veuve Clicquot.
CEO Michelin, Florent Menegaux, menyoroti dampak buruk tarif terhadap rantai pasokan global. “Di dunia yang sudah sangat terhubung, mekanisme perdagangan menjadi rumit. Jika Anda mulai menerapkan tarif, dampaknya bisa sangat sulit diprediksi,” ujarnya. Ia mencontohkan bagaimana dalam proses perakitan satu mobil di AS, suku cadang dapat melintasi perbatasan hingga 53 kali, menjadikan tarif sebagai mimpi buruk logistik.
Meski pemerintahan Trump berharap kebijakan ini akan mendorong produksi dalam negeri, banyak perusahaan memperingatkan bahwa perubahan ini membutuhkan waktu lama. “Investasi minimum untuk pabrik ban adalah US$600 juta. Jika dikerjakan secepat mungkin, butuh tiga tahun sebelum bisa memproduksi ban pertama,” kata Menegaux.
Boeing juga menghadapi tantangan berat. Selain kenaikan biaya suku cadang dari Kanada, perusahaan ini khawatir akan gangguan rantai pasokan. CEO Kelly Ortberg menyatakan bahwa masalah utama bukan hanya biaya, tetapi juga “kelangsungan rantai pasokan”.
Di tengah ketidakpastian ini, beberapa perusahaan mencoba mengalihkan fokus ke pasar lain. Galderma Group AG, produsen Cetaphil, menyatakan akan meningkatkan penjualan internasional guna mengurangi dampak tarif. “Kami selalu punya peluang untuk mengalihkan penjualan ke pasar global, di mana kami mengalami pertumbuhan yang sangat kuat,” ujar CEO Galderma, Flemming Ornskov.
Namun, tidak semua perusahaan memiliki fleksibilitas serupa. AS menyumbang sekitar 40% dari total penjualan Galderma, sehingga kebijakan tarif masih menjadi ancaman besar bagi mereka.
Sampai saat ini, banyak perusahaan masih menunggu kepastian terkait implementasi tarif dan mencari solusi terbaik untuk bertahan di tengah perang dagang yang semakin panas.