Ekonomi Indonesia tumbuh 5,03% pada 2024, melambat dibanding 5,05% pada 2023 dan masih di bawah target pemerintah sebesar 5,2%. Konsumsi rumah tangga tetap menjadi penyumbang terbesar PDB dengan kontribusi 54,04% dan pertumbuhan 4,98%, sementara investasi tumbuh 4,61% dengan distribusi 29,15%. Meski dua sektor ini mencatat kinerja lebih baik, ekonomi nasional masih belum kembali ke level sebelum pandemi.
Sektor industri manufaktur terus menyusut, hanya berkontribusi 18,98% terhadap PDB meski tumbuh 4,42% pada 2024. Ini memperpanjang tren penurunan yang sudah berlangsung lebih dari satu dekade. Sebagai perbandingan, pada 2011, industri ini masih menyumbang 23% terhadap ekonomi nasional. Deindustrialisasi ini berkontribusi pada menurunnya daya beli masyarakat dan membuat 9,5 juta kelas menengah turun kelas.
Ekspor juga menjadi hambatan pertumbuhan. Meski tumbuh 6,51%, impor naik lebih tinggi 7,95%, menyebabkan kontribusi net export negatif -0,21% terhadap PDB. Defisit dagang dengan China pun semakin dalam, mencapai US$11,4 miliar pada 2024. Melimpahnya barang murah dari China akibat perang dagang AS-China bisa makin membebani industri lokal dan mengancam lapangan kerja.
Di tengah stagnasi ini, tantangan 2025 semakin berat. Pemerintah menargetkan pertumbuhan 5,2%, tetapi tanpa transformasi struktural, pertumbuhan bisa kembali mandek di kisaran 5,0%-5,1%. Ancaman perlambatan ekonomi global akibat perang dagang 2.0 dan rezim suku bunga tinggi semakin menekan ekonomi Indonesia.
Bank Indonesia telah merevisi proyeksi pertumbuhan menjadi 4,7%-5,5%, lebih rendah dari perkiraan awal. Jika pemerintah tidak segera menemukan sumber pertumbuhan baru dan memperkuat sektor manufaktur, ekonomi Indonesia bisa terus tertahan di stagnasi sekuler—pertumbuhan rendah dalam jangka panjang tanpa peningkatan signifikan.
O