Arus keluar modal asing dari pasar saham Indonesia terus meningkat, mencapai Rp23,61 triliun sepanjang tahun ini. Ketidakpastian fiskal dan pelemahan daya beli masyarakat turut memicu kekhawatiran investor. OCBC memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2025 hanya 4,8%, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya 5%.
Penurunan ini dipicu oleh pemangkasan anggaran oleh pemerintahan Prabowo Subianto, yang dinilai akan berdampak pada pertumbuhan jangka pendek. Fitch Ratings juga memprediksi pertumbuhan ekonomi RI hanya 4,9% pada 2026, lebih rendah dari target pemerintah 5,2%. Target ambisius Prabowo untuk menggenjot PDB hingga 8% pun dinilai sulit tercapai tanpa reformasi struktural besar.
Di sisi lain, lembaga keuangan global seperti Goldman Sachs dan Morgan Stanley mulai menurunkan rekomendasi investasi untuk saham dan surat utang Indonesia. Goldman menurunkan peringkat saham Indonesia dari “overweight” menjadi “market weight,” sementara Morgan Stanley menurunkan saham MSCI Indonesia ke “underweight.”
Defisit fiskal Indonesia juga menjadi perhatian utama. Goldman Sachs memperkirakan defisit fiskal tahun ini bisa mencapai 2,9% dari PDB, sementara BMI memproyeksikan defisit APBN bisa menyentuh 3%. Lonjakan defisit ini disebabkan oleh peningkatan belanja tanpa rencana konkret untuk memperluas basis pajak.
Survei Bloomberg terhadap 33 ekonom menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi RI diperkirakan hanya 5% tahun ini. Bahkan, ada risiko resesi dalam 12 bulan ke depan. Jika tarif AS terhadap China terus meningkat, ekspor Indonesia bisa terdampak, menekan pertumbuhan ekonomi lebih jauh.

Para ekonom memperingatkan bahwa kombinasi pemangkasan anggaran, ketidakpastian fiskal, dan arus keluar modal asing dapat memperburuk kondisi ekonomi domestik. Pemerintah perlu memastikan kebijakan yang stabil untuk menjaga kepercayaan investor dan menjaga pertumbuhan tetap di jalur positif.