Pelaku industri tambang bauksit kembali mendesak pemerintah untuk merelaksasi larangan ekspor washed bauxite yang berlaku sejak Juni 2023. Ketua Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI), Ronald Sulistyanto, menyatakan bahwa kebijakan ini menghambat ekuitas perusahaan tambang dan operasional bisnis mereka.
Menurut Ronald, hilirisasi bauksit membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan nikel, terutama karena biaya investasi smelter bauksit yang lebih tinggi, mencapai US$1,2 miliar untuk kapasitas 2 juta ton. Di sisi lain, hasil smelter bauksit hanya berupa alumina, berbeda dengan nikel yang memiliki produk turunan lebih banyak.
Tantangan Larangan Ekspor
Larangan ekspor ini juga menyebabkan stok bauksit mangkrak, dengan produksi domestik mencapai 31 juta ton per tahun, sementara kapasitas smelter dalam negeri hanya mampu mengolah 12 juta ton. Hal ini mengakibatkan 18 juta ton bauksit tidak terpakai, yang sebagian besar terkikis menjadi laterit.
Ronald menyebutkan bahwa tren harga alumina yang terus melemah turut menekan pengusaha. Harga alumina di London Metal Exchange (LME) turun 3,21% menjadi US$755/ton, sementara harga nikel justru naik 0,91% ke level US$15.858/ton.
Pemerintah Tetap Dorong Hilirisasi
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan pentingnya hilirisasi untuk memberikan nilai tambah pada sumber daya alam. Menurut Bahlil, ketergantungan pada ekspor barang mentah adalah jebakan yang harus dihindari. Ia mengkritik pengusaha yang memilih langkah praktis tanpa mempertimbangkan manfaat jangka panjang bagi negara.
Bahlil juga menekankan bahwa pemerintah terus memacu hilirisasi agar Indonesia tidak hanya menjadi eksportir mentah, melainkan mampu memproduksi barang bernilai tambah.