Nilai tukar rupiah melemah tajam pada Februari 2025, bahkan menyentuh level terendah sepanjang sejarah. Pada perdagangan Jumat (27/2/2025), rupiah ditutup di Rp16.575 per US$, melemah 0,79% dalam sehari dan turun 1,69% sepanjang pekan ini. Tren negatif ini berlanjut sejak Oktober 2024, menjadikannya periode pelemahan terburuk sejak Mei-Oktober 2023.
Pelemahan rupiah tak lepas dari faktor eksternal, terutama kebijakan ekonomi Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump. Sejak Trump terpilih pada 5 November 2024, rupiah telah terdepresiasi Rp845 atau sekitar 5,1%. Kebijakan proteksionisme yang diusung Trump mendorong penguatan dolar AS, membuat investor global menarik modalnya dari negara berkembang seperti Indonesia.
Trump semakin memperkuat kebijakan tarif impornya dengan mengumumkan bea masuk baru terhadap Meksiko dan Kanada sebesar 25%, serta tambahan 10% untuk China. Langkah ini meningkatkan ketidakpastian ekonomi global dan memicu arus modal keluar dari pasar negara berkembang. Indeks dolar AS pun melonjak ke level tertinggi sejak November 2022, menambah tekanan bagi rupiah.
Di dalam negeri, depresiasi rupiah semakin memperumit tantangan ekonomi bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Bank Indonesia diprediksi akan terus melakukan intervensi guna menstabilkan mata uang Garuda, sementara sektor industri yang bergantung pada impor harus menghadapi kenaikan biaya produksi.
Pelemahan rupiah yang tajam ini menjadi perhatian utama bagi investor dan pelaku ekonomi. Dengan ketidakpastian global yang masih tinggi, rupiah berpotensi terus tertekan jika kebijakan proteksionisme AS semakin agresif dan bank sentral AS menunda pemangkasan suku bunga.