Nilai tukar rupiah diperkirakan akan merosot ke level terlemah sepanjang sejarah dalam waktu dekat. Para analis asing memperingatkan bahwa mata uang Indonesia ini bisa melewati Rp16.950/US$, rekor terendah sejak krisis moneter 1998.
Prediksi ini datang dari Mizuho Bank Ltd dan MUFG Bank Ltd, yang menyebut kekhawatiran investor terhadap kebijakan ekonomi dan politik Indonesia sebagai faktor utama pelemahan rupiah. Selain itu, pasar juga masih mencermati dampak global, termasuk kebijakan perdagangan Amerika Serikat.
Investor Cemas dengan Kebijakan Populis
Para pelaku pasar menilai program-program populis Presiden Prabowo Subianto, terutama dalam belanja pemerintah, dapat memperbesar risiko fiskal. Ketidakpastian ini membuat investor berhati-hati dan berpotensi menarik modal mereka dari Indonesia.
“Kekhawatiran pasar meningkat terkait risiko fiskal Indonesia, mengingat banyak program sosial yang telah dijalankan oleh pemerintahan baru,” ujar Lloyd Chan, FX Strategist di MUFG.
Menurut Chan, investor telah bersiap menghadapi kemungkinan rupiah menembus Rp17.000/US$, terutama jika Presiden AS Donald Trump memberlakukan kebijakan tarif baru pada April mendatang.
Ancaman terhadap Independensi Bank Indonesia
Selain kebijakan fiskal, pasar juga mengkhawatirkan rencana perluasan mandat Bank Indonesia (BI). Banyak investor menilai kebijakan ini bisa mengancam independensi bank sentral, yang selama ini menjadi kunci stabilitas moneter Indonesia.
Jika independensi BI terganggu, pasar bisa kehilangan kepercayaan, yang berujung pada pelemahan rupiah lebih lanjut. Saat ini, BI sudah berupaya masuk ke pasar untuk menahan depresiasi rupiah melalui intervensi di pasar valas dan obligasi.
Namun, Jon Harisson dari GlobalData TS Lombard di London menyebutkan bahwa intervensi BI memiliki batasan. “Bank Indonesia memiliki cadangan devisa yang bisa digunakan untuk menahan rupiah untuk sementara, namun itu tidak akan berkelanjutan jika sentimen pasar terus mendorong pelemahan rupiah,” ujarnya.
BI Akan Biarkan Rupiah Melemah?
Dengan inflasi yang masih rendah, BI memiliki ruang untuk membiarkan rupiah terdepresiasi tanpa harus menaikkan suku bunga secara agresif.
“BI kemungkinan akan membiarkan rupiah melemah lebih lanjut, mengingat tekanan inflasi masih terkendali,” kata Harisson.
Investor kini menunggu keputusan BI dalam pertemuan April mendatang, apakah bank sentral akan mengambil langkah agresif untuk menjaga stabilitas rupiah atau membiarkannya melemah sesuai mekanisme pasar.
Target Pelemahan: Rp16.800 hingga Rp17.000/US$
Visnu Varathan, Chief Economist dan Strategist di Mizuho Bank, menilai Rp16.800/US$ adalah batas kritis dalam jangka pendek. Jika level ini ditembus, pelemahan berikutnya bisa mencapai Rp17.000/US$.
“Kami melihat Rp16.800/US$ sebagai level kunci dalam waktu dekat. Jika tidak ada langkah intervensi yang signifikan, maka rupiah bisa melemah lebih jauh,” ujarnya.
Pasar Keuangan Waspada
Pergerakan rupiah akan sangat bergantung pada kebijakan pemerintah dan respons investor terhadap kondisi ekonomi global. Dengan ketidakpastian fiskal dan potensi kebijakan proteksionis dari AS, rupiah masih berisiko mengalami tekanan dalam beberapa bulan ke depan.
Jika tekanan ini berlanjut, BI mungkin harus mengambil langkah lebih drastis untuk menjaga stabilitas nilai tukar, baik melalui intervensi di pasar keuangan maupun kebijakan moneter lainnya.