Kebijakan

Aral Nikel RI: Syarat Ketat, Ongkos Meningkat, Produsen ‘Sekarat’

Nikel Indonesia Terancam: Ketatnya Syarat ESG dan Turunnya Harga Global

Industri nikel Indonesia menghadapi tantangan berat akibat ketatnya persyaratan environmental, social, and governance (ESG) di pasar global. Kebijakan ini diprediksi akan memengaruhi keberlangsungan perusahaan nikel kecil di Tanah Air, terutama di tengah tren harga yang terus merosot.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menjelaskan bahwa persyaratan ESG semakin ketat, khususnya untuk produk derivatif nikel seperti baterai kendaraan listrik dan baja nirkarat. “Negara-negara ingin memastikan produk mereka berasal dari bahan baku yang diproduksi secara rendah karbon,” kata Meidy pada Selasa (24/12/2024).

Ketentuan ini, menurut Meidy, akan menaikkan biaya produksi bagi perusahaan nikel di Indonesia. Namun, harga nikel global justru menurun, memperburuk kondisi keuangan para penambang. “Biaya ESG bertambah, tetapi harga [nikel] malah turun. Ini akan menekan produsen lokal, terutama perusahaan kecil,” tambahnya.

Regulasi Baru Eropa Tambah Beban

Di Uni Eropa, EU Battery Regulation yang berlaku mulai Februari 2025 akan semakin memperketat aturan terkait jejak karbon bahan baku baterai. Peraturan ini mewajibkan keberadaan ‘paspor baterai’ pada 2027, yang menjamin kepatuhan bahan baku terhadap standar ESG. Meidy mengingatkan bahwa waktu persiapan hanya dua tahun. “Pada 2027, semua baterai yang masuk UE harus memiliki paspor baterai yang mensyaratkan ESG,” ujarnya.

Tekanan regulasi ini, ditambah harga nikel yang terus turun akibat oversupply dari Indonesia, membuat banyak produsen menghadapi risiko penutupan. “Kalau tidak ada untung, ngapain produksi terus? Kalau pabrik kecil tidak bisa bertahan, ya harus tutup,” kata Meidy.

Diversifikasi Pasar Ekspor

Di tengah tantangan tersebut, beberapa produsen nikel mencoba diversifikasi pasar. Selain China, produk turunan nikel Indonesia mulai masuk ke Eropa, seperti Belanda, untuk memenuhi kebutuhan baja nirkarat. Namun, pasar baterai kendaraan listrik masih dikuasai negara lain.

Indonesia juga tengah mempertimbangkan pemangkasan kuota produksi nikel hingga 150 juta ton pada 2025 dari 272 juta ton tahun ini. Langkah ini bertujuan mendongkrak harga yang saat ini menyentuh rekor terendah dalam empat tahun.

Harga Nikel Terpuruk

Harga nikel telah turun sekitar 8% sepanjang tahun ini, menjadikannya salah satu logam industri dengan kinerja terburuk di London Metal Exchange (LME). Pada Senin (23/12/2024), harga nikel ditutup di US$15.292 per ton, jauh dari puncak harga US$100.000 per ton pada 2022. Penurunan ini diperparah oleh perlambatan penjualan kendaraan listrik yang menjadi pasar utama produk berbasis nikel.

Dengan tantangan biaya produksi tinggi dan regulasi yang semakin ketat, industri nikel Indonesia membutuhkan strategi baru untuk tetap kompetitif di pasar global.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *