Pemerintah Indonesia perlu mewaspadai kebijakan perdagangan baru Presiden AS Donald Trump, yang disebut tarif timbal balik (reciprocal tariff). Kebijakan ini memungkinkan AS mengenakan tarif impor yang setara dengan pajak yang dikenakan negara lain terhadap produk AS. Langkah ini meningkatkan risiko perang dagang global dan dapat berdampak langsung pada ekspor Indonesia.
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai bahwa kebijakan Trump ini dapat semakin menekan ekspor Indonesia, terutama di sektor tekstil dan produk turunannya. Jika AS mengenakan tarif lebih tinggi, produk tekstil Indonesia yang sudah mengalami penurunan ekspor bisa semakin tertekan. Padahal, AS merupakan salah satu pasar utama bagi industri tekstil nasional.
Yusuf memperkirakan pertumbuhan ekspor Indonesia tahun ini bisa melambat menjadi sekitar 6%, dibandingkan tahun lalu yang mencapai 6,5%. Namun, peluang tetap ada jika permintaan dari negara mitra seperti China, India, dan Jepang masih kuat. Jepang diperkirakan mencatat pertumbuhan permintaan barang sebesar 1,1%, sementara India diprediksi tumbuh 6,5% tahun ini.
Pemerintah diimbau untuk mengantisipasi dampak kebijakan perdagangan AS, baik secara langsung maupun tidak langsung. Setiap perubahan kebijakan di AS berpotensi mempengaruhi perekonomian global, termasuk negara-negara pasar berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itu, strategi diversifikasi pasar menjadi semakin penting.
Sebagai langkah mitigasi, pemerintah disarankan untuk memperluas pangsa pasar ekspor ke negara-negara BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan). Kemitraan dengan negara-negara tersebut dapat menjadi solusi untuk menjaga stabilitas ekspor Indonesia di tengah ketidakpastian kebijakan perdagangan AS.