Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani kebijakan baru pada 13 Februari yang menginstruksikan pemerintahannya untuk menerapkan tarif resiprokal. Kebijakan ini bertujuan menyeimbangkan tarif impor AS dengan negara mitra, tetapi berpotensi memperlambat ekonomi global dan meningkatkan inflasi di AS.
Tarif resiprokal berarti AS akan menyesuaikan tarifnya dengan bea masuk yang dikenakan negara lain terhadap produk Amerika. Menurut Howard Lutnick, calon Menteri Perdagangan pilihan Trump, proposal ini bisa selesai pada awal April. Kebijakan ini berbeda dengan tarif universal yang pernah Trump wacanakan sebelumnya, karena lebih fleksibel dan bisa bervariasi berdasarkan negara.
Beberapa negara berkembang diperkirakan paling terdampak karena umumnya menerapkan tarif tinggi untuk melindungi industri domestik. Bloomberg Economics memprediksi India, Argentina, serta beberapa negara di Asia Tenggara dan Afrika akan terkena imbas paling besar. Selain itu, Uni Eropa dan Jepang juga berpotensi terdampak karena kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) yang dianggap Trump sebagai hambatan dagang.
Gedung Putih menyatakan tarif ini akan mempertimbangkan berbagai faktor seperti subsidi industri, nilai tukar mata uang, hingga perlindungan hak kekayaan intelektual. Namun, hambatan non-tarif yang sulit diukur ini bisa menjadi tantangan besar bagi AS dalam menentukan kebijakan per negara.
Sejarah menunjukkan bahwa Trump kerap menggunakan tarif sebagai alat negosiasi. Selama periode pertamanya, ia sempat membatalkan atau menunda tarif untuk beberapa negara setelah lobi industri dalam negeri. Contohnya, China menghindari tarif tambahan setelah berjanji membeli produk pertanian AS dalam jumlah besar.
Meski begitu, banyak analis menilai Trump akan lebih agresif dalam kebijakan dagangnya pada periode kedua. Pengecualian tarif yang sempat ia berikan di masa lalu bisa saja dicabut, terutama bagi negara yang dinilai mengancam industri AS. Ini berpotensi meningkatkan ketegangan dagang dan membuat perekonomian global lebih tidak stabil.
Dari perspektif AS, tarif resiprokal dianggap sebagai kebijakan yang adil untuk melindungi industri dalam negeri. Namun, bagi negara berkembang yang masih membutuhkan perlindungan untuk industri lokalnya, kebijakan ini bisa menjadi ancaman besar bagi pertumbuhan ekonomi mereka.